Wilayah kedua di Pulau Jawa yang berhasil menanam kopi dan menyetorkan hasil panennya kepada kompeni (VOC) adalah Kabupaten Cirebon pada 1712, atau satu tahun setelah penyerahan kopi dari Kabupaten Cianjur pada 1711.
Soalnya kemudian, apakah Kabupaten Bandung juga sama-sama diperintahkan untuk menanam pada awal pengenalan kopi di Pulau Jawa pada 1706-1707? Saya kira, kemungkinan besar, Bandung turut pula melakukan hal yang sama. Dengan catatan, sebagaimana yang saya temukan dalam empat jilid buku Priangan (1910-1912) susunan F. De Haan serta buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014) karya Jan Breman, hingga tahun 1730, Bandung bersama dengan Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sumedang berada di bawah kekuasaan dan pengawasan Cirebon.
Penguasaan dan pengawasan tersebut bermula dari saat Kesultanan Mataram melakukan perjanjian dengan kompeni pada 1677 dan 1705. Pada perjanjian 1677, kekuasaan Mataram atas Priangan beralih ke VOC. Pada 1684, yang terjadi adalah peresmian peralihan kekuasaan atas Priangan dari Mataram ke kompeni, dengan jalan memanggil para penguasa pribumi di Priangan ke Cirebon untuk menerima perintah baru dari penguasa baru, berupa penentuan batas teritorial dan pembagian wilayah dalam rayon-rayon yang dikepalai bupati. Dan akhirnya, pada perjanjian kedua pada 1705, Mataram melepaskan semua haknya atas wilayah Sunda.
Dengan menguatnya kekuasaan kompeni, pada 1706 perusahaan dagang Hindia Timur itu menugasi Pangeran Arya Cirebon, Kamaruddin (1697-1724) untuk mengawasi tanah dan rakyat Priangan, karena sebelumnya pada 1681 kekuasaan Kesultanan Cirebon pun sudah dilucuti kompeni. Adapun yang menjadi tugas Kamaruddin adalah meneruskan perintah VOC kepada para penguasa pribumi serta meneruskan usulan kepala pribumi kepada kompeni. Sejak 1706 inilah Bandung, Parakanmuncang, dan Sumedang berada di bawah pengawasan Cirebon. Namun, karena meninggal pada 1724 serta tidak ada penggantiannya, kompeni tidak memerlukan perantara semacam Kamaruddin. Dan akhirnya pada 1730, direksi VOC di Batavia mengawasi langsung Bandung, Parakanmuncang, dan Sumedang.
Selain itu, sejak 26 Oktober 1706 diadakan jabatan Komitir untuk Urusan Pribumi (Gecommitteerde tot de Saecken der Inlanderen) serta di tiap kabupaten ditempatkan seorang pengawas (opzieners) dari kalangan militer, yang nantinya juga menjadi pengawas penanaman kopi, sehingga dikenal adanya sersan kopi. Orang-orang yang pernah menjabat sebagai pengawas di Bandung (Opzieners van Bandoeng) hingga bubar kompeni adalah Barent van Harwaarden (1707, pembuat pewarna dari nila, pengumpul belerang), Philip Bodarts van Hannover (1714, serdadu, pembuat nila), Arij Tob (1720, pembuat nila), Gijsbert Penning (1730, sersan), Pieter Keijser, Jan Geijsbergen atau Ronde Jan (1742-1752, kopral), Jan de Groote (1756, sersan), Hendrik Brauns uit Brunswijk (1769-1773, sersan), Wobbe Janse Kleijenberg (1776, sersan), Johannes Mathey (1777-1786, kopral, sersan), Johan Karel Reijnhart (1790-1797), dan Pieter Louis (1797-1807, sersan).
Saat peralihan kekuasaan dari Mataram ke kompeni yang dilanjutkan dengan perintah penanaman kopi, yang menjadi bupati Bandung adalah Raden Anggadiredja atau Raden Demang Timbanganten (1704-1747), yang diangkat bupati sejak 5 Desember 1704. Ia merupakan anak sulung bupati sebelumnya, Demang Timbanganten (1681-1704) yang meninggal pada 24 Juni 1704. Dengan demikian, bisa jadi kopi pertama yang diserahkan Cirebon pada 1712 kepada kompeni merupakan gabungan dari daerah Bandung, Parakanmuncang dan Sumedang serta kabupaten lainnya yang ada di bawah pengawasan Cirebon. Memang ada catatan pula mengenai kunjungan Gubernur Jenderal VOC Abraham van Riebeeck (1709-1713) ke Bandung antara Agustus-September 1713 dan dalam pertemuan dengan bupati-bupati di Priangan di Bandung, ia menekankan budidaya tanaman (vermelde bevelen aangaande de cultures). Dengan dugaan kuat bahwa yang dimaksud dengan budidaya oleh Riebeeck tersebut tentu adalah kopi, tanaman yang baru beberapa tahun diperkenalkan ke dataran tinggi Priangan.
Bukti bahwa Bandung, Parakanmuncang dan Sumedang berada di bawah pengawasan Cirebon terlihat dari tabel Distributiestaat (in picols) van het koffieproduct, tusschen de Jaren 1721 en 1810 Geleverd door de onder Batavia Ressorteerende Landen en Regentschappen (Kopi yang diserahkan kabupaten-kabupaten di bawah Batavia kepada VOC pada tahun 1721-1800) dalam buku De Haan jilid ketiga (1912). Di sana, pada nama (naam) Bandoeng, Soemedang, Parakanmoentjang antara 1721 hingga 1725 diberi keterangan “tot 1730 onder Cheribon” (hingga 1730 berada di bawah Cirebon).
Sementara produksi kopi atas nama Bandung baru ada pada 1745. Saya menduga, antara 1730-1745 atau selama 15 tahun berada di bawah pengawasan langsung direksi VOC di Batavia, produksi kopi Bandung kemungkinan besar disatukan dengan wilayah-wilayah yang masuk Batavia. Oleh karena itu, sangat beralasan bila pada 10 Agustus 1742, komitir urusan pribumi menanyakan kepada bupati Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang, berapa banyak kopi yang dapat disetorkan kepada kompeni. Karena dalam pertimbangan sang komitir, kuota yang dibebankan kepada ketiga kabupaten tersebut terlalu kecil.
Setelah teguran tersebut, pada 1745 Kabupaten Bandung berhasil menyetorkan sebanyak 810 pikul kopi kepada kompeni. Hingga tahun 1750, produksi kopi dari Bandung bisa dikatakan menunjukkan peningkatan jumlah setoran, meskipun ada pula penurunan jumlah setoran. Hal ini bisa dilihat dari tahun 1746 yang menghasilkan 812 pikul kopi; 1747 sebanyak 1.462 pikul; 1748 sebanyak 1.268 pikul; 1749 sebanyak 2.100 pikul; dan pada 1750 sebanyak 2.938 pikul.
Sementara untuk periode 1751 hingga 1755 berturut-turut sebanyak 2.747 pikul, 2.484 pikul, 2.699 pikul, 2.198 pikul, dan 2.278 pikul. Pada periode ini terlihat penurunan produksi kopi di Bandung. Bisa jadi salah satu alasannya adalah ketidakamanan daerah Bandung akibat merebaknya pemberontakan Kiai Tapa. Menurut salah satu surat bertitimangsa 21 Agustus 1752 yang dikirim dari Bandung, saat itu pasukan Kiai Tapa bergerak ke arah Parakanmuncang, setelah melakukan penyerangan ke Kabupaten Bandung dan terjadi pertempuran hebat di paseban. Sehingga akhirnya, Kiai Tapa terusir ke arah Banyumas oleh desakan pasukan gabungan Cirebon dan Priangan (September 1752).
Selanjutnya, pada periode antara 1755 hingga tahun 1765 atau selama sepuluh tahun terjadi kekosongan data produksi kopi dari Bandung. Kekosongan tersebut berkaitan dengan kepindahan kembali distrik-distrik di Bandung dan Parakanmuncang kepada pengawasan Karesidenan Cirebon. Sebabnya adalah antara 1758-1765, yang menjadi residen Cirebon adalah Hasselaer, yang notabene menantu Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1761). Hasselaer memang ingin sekali memasukkan distrik-distrik yang menghasilkan kopi serta menguntungkan, sehingga akhirnya Bandung dan Parakanmuncang dimasukkan lagi ke Cirebon.
Data produksi kopi di Bandung baru ada lagi pada 1766, yaitu sebanyak 4.660 pikul. Kemudian setelah 1766 data produksi kopinya tidak beraturan, karena baru ada lagi pada 1773 sebanyak 2.942 pikul, pada 1777 sebanyak 3.515 pikul, tahun 1778 sebanyak 4.971 pikul, tahun 1785 sebanyak 4.029 pikul, 1786 sebanyak 4.411 pikul. Pada periode ini, L. Rolff diangkat menjadi komitir untuk urusan pribumi pada 1785. Tidak lama setelah menjabat, ia mengusulkan agar “setiap keluarga, baik numpang maupun bumi, di wilayah Jacatra-Priangan dan dataran tinggi” secara merata dilibatkan dalam penanaman kopi. Untuk di Bandung, pada 30 Desember 1785, Rolff menyatakan bahwa kebun-kebun kopi di daerah ini berada di dekat kota utama.
Selain itu, pada 5 Juni 1789, Rolff menulis surat kepada bupati Bandung Raden Anggadireja III (Wiranatakusumah I, 1769-1794). Rolff mengeluhkan bahwa produksi kopi sangat lambat, sehingga ia kemudian mengirimkan empat opassers atau petugas ke untuk memeriksa kebun-kebun kopi di Bandung dan Batulayang terutama berkaitan dengan penyiangan kebunnya serta memastikan buah kopi yang masak telah dikumpulkan. Para petugas juga akan memeriksa kebun kopi di Timbanganten yang konon hasilnya hanya dijual di sekitar Bandung.
Perintah lainnya dari Rolff pada 1789 adalah setiap keluarga agar merawat 1.000 pohon kopi setiap tahun dan menanam pohon kopi tambahan hingga mencapai jumlah tersebut sebetulnya sudah merupakan perubahan ke arah budidaya berskala besar. Dan untuk menggenjot hasil produksi kopi dari Priangan, pada tahun ini pula, Rolff menyusun pedoman penanaman kopi berupa pemilihan lahan, cara penanaman, perawatan pada masa pertumbuhan, dan akhirnya pemetikan dan pengeringan biji kopi.
Barangkali perintah-perintah Rolff itu bisa menerangkan perihal peningkatan produksi kopi dari Bandung antara 1791 hingga 1795. Bila pada 1791 dari Bandung dihasilkan 12.000 pikul kopi, maka pada 1795 meningkat menjadi 13.980 pikul. Namun, saat kejatuhan VOC pada 1799 akibat korupsi yang berkecamuk dalam tubuh perusahaan dagang tersebut, hasil kopi dari Bandung turun menjadi 12.020 pikul kopi.
Satu hal lagi yang bisa jadi informasi sangat penting adalah ihwal daerah-daerah mana saja di Bandung yang menghasilkan kopi. Jawaban untuk soal ini adalah catatan perjalanan komitir Pieter Engelhard pada 1802. Menurut Engelhard ada lima cutak di Bandung yang difokuskan untuk budidaya kopi. Kelima cutak tersebut adalah Bandung, Banjaran, Cipeujeuh, Rajamandala dan Ujungberung. Bandung dan Cipeujeuh berada di selatan Bandung yang saat ini termasuk Kabupaten Bandung, Rajamandala berada di bagian barat Bandung dan sekarang masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat, dan Ujungberung saat itu melingkupi hampir kebanyakan wilayah utara Bandung yang saat ini masuk ke wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
By : Atep Kurnia disadur dari ayobandung.com
Hai, ini sebuah komentar.
Untuk mulai memoderasi, mengedit, dan menghapus komentar, silakan kunjungi laman Komentar di dasbor.
Avatar komentator diambil dari Gravatar.